TAUHID DAN URGENSINYA BAGI KEHIDUPAN SEORANG MUSLIM
A. Tauhid
Pada
zaman Jahiliyyah. Banyak sekali masyarakat Jazirah Arab yang menyembah berhala.
Dan ‘sesuatu’ yang mereka sembah tersebut memiliki berbagai macam jenis dan
rupa.
Pada zaman tersebut banyak sekali orang yang memiliki tuhan
mereka masing-masing, yang mana tuhan-tuhan tersebut dibuat dan diagungkan oleh
tangan-tangan manusia sendiri. Tanpa ada landasan yang benar selain dari
spekulasi dan pandangan yang salah atas hati manusia.
Itulah kenapa saat Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam
diturunkan untuk membenarkan akhlak para masyarakat Jahiliyyah, beliau
menyebarkan ajaran Tauhid.
Yang dimaksud Tauhid adalah
keyakinan bahwa Tuhan penguasa Alam semesta hanyalah satu, tidak beranak, tidak
beristri, tidak bersaudara. Satu, dan hanya Allah SWT.
Namun tentu, karena masyarakat pada masa itu masih berpegang
teguh kepada keyakinan nenek moyang dan mereka masih menganggap bahwa
penyembahan berhala adalah hal yang sakral, mengakibatkan mereka tidak langsung
bisa menerima ajaran yang disampaikan Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam.
Hal itulah yang mendasari adanya banyak diskriminasi terjadi
kepada Rasulullah maupun sahabat-sahabat yang mendukung perjuangan beliau.
Makna dari Tauhid sendiri, sudah berulang kali disampaikan
oleh Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam dalam beberapa hadist, yang mana
salah satu diantara hadist tersebut berbunyi :
عَنْ مُعَاذٍ – رضى الله عنه – قَالَ : كُنْتُ رِدْفَ النَّبِىِّ
صلى الله عليه وسلم عَلَى حِمَارٍ يُقَالُ لَهُ عُفَيْرٌ ، فَقَالَ :« يَا مُعَاذُ
، هَلْ تَدْرِى حَقَّ اللَّهِ عَلَى عِبَادِهِ ؟ وَمَا حَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللَّهِ
؟ » . قُلْتُ : اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ . قَالَ :« فَإِنَّ حَقَّ اللَّهِ عَلَى
الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوهُ وَلاَ يُشْرِكُوا بِه شَيْئاً ، وَحَقَّ الْعِبَادِ عَلَى
اللَّهِ أَنْ لاَ يُعَذِّبَ مَنْ لاَ يُشْرِكُ بِهِ شَيْئاً » . فَقُلْتُ : يَا رَسُولَ
اللَّهِ ، أَفَلاَ أُبَشِّرُ بِهِ النَّاسَ ؟ قَالَ :« لاَ تُبَشِّرْهُمْ فَيَتَّكِلُوا
».
Dari Mu’adz radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Aku pernah
dibonceng Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas sebuah keledai yang
bernama ‘Ufair, lalu Beliau bersabda, “Wahai Mu’adz, tahukah kamu hak Allah
yang wajib dipenuhi hamba-hamba-Nya? Dan apa hak hamba yang pasti dipenuhi
Allah?” Aku menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Beliau bersabda,
“Sesungguhnya hak Allah yang wajib dipenuhi hamba adalah mereka beribadah
kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu, dan hak hamba yang pasti
dipenuhi Allah adalah Dia tidak akan mengazab orang yang tidak menyekutukan-Nya
dengan sesuatu.” Aku berkata, “Wahai Rasulullah, bolehkah aku beritahu kan
kabar gembira ini kepada manusia?” Beliau menjawab, “Tidak perlu kamu
sampaikan, nanti mereka akan bersandar.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Hadist diatas menjelaskan tentang maksud dari Tauhid dan
kenapa Tauhid merupakan hak Allah yang wajib dipenuhi oleh setiap hamba.
Tentu dalam memaknai arti Tauhid lebih dalam, tidak berhenti
sampai disitu saja. Dikarenakan sejatinya Tauhid dapat dijabarkan menjadi
beberapa bagian. Yang mana bagian-bagian tersebut setidaknya harus diketahui
maknanya agar kita lebih paham tentang maksud dari ajaran Tauhid.
Asal usul Pembagian
Tauhid berdasar dari Al Qur’an
Sejatinya, pembagian maksud dari Tauhid tidak secara
langsung dijabarkan dalam Al-Qur’an. Namun para ulama yang mengkaji hal
tersebut memiliki pembagian yang didasari dari salah satu ayat yang mana ayat
tersebut mewakili makna dari Tauhid tersebut. Ayat yang dimaksud adalah QS.
Maryam ayat 65, yang berbunyi :
رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا فَاعْبُدْهُ
وَاصْطَبِرْ لِعِبَادَتِهِ هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيّاً
Rabb (yang menguasai) langit dan bumi dan segala sesuatu
yang ada di antara keduanya, maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam
beribadah kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia
(yang patut disembah)?” (Maryam: 65).
Atas ayat diatas, para ulama menjabarkan makna dari Tauhid
menjadi tiga bagian. Ketiga bagian tersebut adalah sebagai berikut :
Dalam firman-Nya (رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ) (Rabb
(yang menguasai) langit dan bumi) merupakan penetapan Tauhid rububiyah.
Dalam firman-Nya (فَاعْبُدْهُ وَاصْطَبِرْ لِعِبَادَتِهِ)
(maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadah kepada-Nya) merupakan
penetapan Tauhid uluhiyah.
Dan dalam firman-Nya (هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيّاً) (Apakah
kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia?) merupakan penetapan Tauhid
asma’ wa shifat.
Sehingga dapat diketahui bahwa pembagian Tauhid dibagi
menjadi tiga. Yaitu Tauhid rububiyah, Tauhid uluhiyah, dan Tauhid asma’ wa
shifat.
Penjelasan Tiga
Cabang Tauhid
Setelah mengetahui bahwa Tauhid memiliki 3 bagian. Maka kita
harus pula memahami atas tiga cabang tersebut. Berikut adalah penjelasannya.
1. Tauhid Rububiyah
Yang dimaksud adalah kita harus percaya bahwa penciptaan,
pengurusan dan pemerintahan alam semesta dan segala isinya hanyalah Allah dan
tidak ada yang lain. Hal ini sejalan dengan QS. Al A’raf ayat 54 yang berbunyi
:
أَلاَلَهُ الْخَلْقُ وَاْلأَمْرُ تَبَارَكَ اللهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
“Ingatlah, menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allah”
(Al- A’raf: 54).
Menegaskan bahwa tidak ada selain Allah adalah penyebab
terbentuknya alam semesta beserta isinya. Dan tidak ada selain Allah pula yang
memerintah alam semesta.
2. Tauhid Uluhiyah
Yang kedua ini memiliki makna sebagai Tauhid Ibadah. Yaitu
tidak ada makhluk selain Allah yang berhak diibadahi dan tidak ada makhluk
selain Allah yang berhak untuk disembah. Hal ini sejalan dengan QS. Luqman ayat 30 :
ذَلِكَ بِأَنَّ اللهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَايَدْعُونَ مِن دُونِهِ
الْبَاطِلُ
”Demikianlah, karena sesungguhnya Allah, Dialah yang hak dan
sesungguhnya yang mereka seru selain Allah adalah batil” (Luqman: 30).
Yang mana memiliki makna bahwa haram hukumnya menyembah
selain Allah, karena hal tersebut merupakan perkara yang bathil dan tidak boleh
dilakukan.
3. Tauhid Asma’ wa
Sifat
Yang dimaksud adalah mempercayai Allah Atas nama-nama yang
telah ditetapkan oleh-Nya sendiri. Dan tidak mengingkari nama-nama tersebut.
Percaya bahwa nama-nama tersebut benar tanpa mengilustrasikan (Takyif),
menyerupakan dengan sesuatu (Tamtsil), menyimpangkan makna (Tahrif), atau
bahkan menolak nama atau sifat tersebut. Contoh adalah Al Bashiir yaitu Allah
maha melihat, maka begitulah adanya. Hal ini sejalan dengan makna dari QS.
Asy-Syuura ayat 11 yang berbunyi :
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ
”Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dialah
Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syuura: 11)
Makna dari tauhid asma’ wa sifat adalah mempercayai Allah
atas segala nama dan Sifat yang Allah miliki.
B. Tauhid sebagai
Landasan bagi Semua Aspek kehidupan
Tauhid
dalam pandangan islam merupakan akar yang melandasi setiap aktivitas manusia.
Kekokohan dan tegaknya tauhid mencerminkan luasnya pandangan, timbulnya
semangat beramal dan lahirnya sikap optimistik. Sehingga tauhid dapat
digambarkan sebagai sumber segala perbuatan (amal shalih) manusia.
Sebetulnya
formulasi tauhid terletak pada realitas sosial. Adapun bentuknya, tauhid
menjadi titik sentral dalam melandasi dan mendasari aktivitas. Tauhid harus
diterjemahkan ke dalam realitas historis-empiris. Tauhid harusnya dapat
menjawab semua problematika kehidupan modernitas, dan merupakan senjata
pamungkas yang mampu memberikan alternatif yang lebih anggun dan segar.
Tujuan
tauhid adalah memanusiakan manusia. Itu sebabnya, dehumanisasi merupakan
tantangan tauhid yang harus dikembalikan kepada tujuan tauhid, yaitu memberikan
perubahan terhadap masyarakat. Perubahan itu didasarkan pada cita-cita profetik
yang diderivasikan dari misi historis sebagaimana tertera dalam firman Allah:
كُنْتُمْ خَيْرَ
أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ
الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
Artinya :“Engkau adalah umat terbaik yang diturunkan di
tengah manusia untuk menegakkan kebaikan, mencegah kemungkaran dan beriman
kepada Allah”.(QS. Ali’Imran: 110).
Kuntowijoyo memberikan tiga muatan dalam ayat di atas
sebagai karakteristik ilmu sosial profetik, yakni kandungan nilai humanisasi,
liberasi dan transendensi. Tujuannya supaya diarahkan untuk merekayasa
masyarakat menuju cita-cita sosial-etiknya di masa depan.
Komentar
Posting Komentar